TIMES JAYAPURA, MALANG – Dulu, di Batavia. Soto Betawi bukanlah sekadar hidangan biasa. Ia makanan istimewa, hanya disajikan dalam acara-acara besar atau untuk kalangan tertentu. Soto Betawi identik dengan orang kaya, saudagar, bangsawan dan aristokrat Batavia.
Bagi masyarakat awam, hidangan ini terlalu mahal dan terlalu rumit untuk disiapkan sehari-hari. Namun, bagi keluarga bangsawan, soto Betawi bukan hanya sekedar makanan, tetapi simbol kemakmuran dan status.
Betapa tidak. Saat itu soto Betawi dibuat dengan penuh kehati-hatian. Hanya bagian-bagian tertentu saja dari daging sapi seperti daging has dalam dan paru-paru yang jadi bahan utama. Cara pemotongan daging pun harus presisi agar menghasilkan potongan sempurna untuk disajikan di atas meja.
Rempah khas Betawi, seperti jahe, lengkuas, daun jeruk, kapulaga dan serai juga disiapkan. Semuanya kemudian dicampur dengan santan dari kelapa segar. Campuran itu kemudian diberi tambahan bumbu berupa bawang merah, bawang putih, merica, ketumbar, dan kemiri yang dihaluskan dengan cara tradisional menggunakan ulekan batu.
Proses ini membutuhkan waktu dan ketelatenan. Semakin halus bumbu yang dihaluskan, semakin harum dan kaya rasanya.
Setelah kuah soto matang, kemudian disiapkan emping, tahu, dan tempe untuk pelengkapnya. Emping yang renyah menambah sensasi gurih pada soto. Sementara tahu dan tempe menjadi teman yang pas untuk menyerap kuah yang kaya rasa. Semua bahan disusun dengan rapi di meja yang telah disiapkan untuk para tamu.
Soto itu kemudian disajikan dalam sebuah mangkuk yang cukup besar. Di atas kuah kental kekuningan beraroma rempah yang khas itu, potongan daging sapi yang empuk dan jeroan disusun sangat rapi. Sementara emping yang renyah ditaburkan di atasnya sebagai pelengkap. Tidak lupa, sambal dan jeruk nipis disediakan di sisi untuk memberikan sentuhan rasa segar dan pedas.
Bagi kalangan bangsawan Betawi pada waktu itu, daging sapi pilihan yang digunakan adalah simbol kemewahan. Hanya orang-orang kaya saja yang mampu membeli daging berkualitas tinggi. Santan kelapa yang digunakan, selain memberikan kekayaan rasa, juga melambangkan kesejahteraan yang datang dari tanah yang subur. Sementara rempah-rempah yang digunakan menunjukkan keanekaragaman dan perdagangan yang berkembang sangat pesat di Batavia.
Boleh jadi, hanya di rumah-rumah besar yang megah saja hidangan Soto Betawi bisa dinikmati lidah.
Transformasi dan demokratisasi Soto Betawi
Soto Betawi di rumah-rumah besar itu, kini bisa dijumpai di pinggir jalan. Kaki lima, perkampungan kumuh sampai hotel bintang lima.
Hidangan eksklusif yang dulu hanya bisa dinikmati kalangan terbatas, kini bisa dinikmati di berbagai tempat, berbagai kota bahkan berbagai benua. Resep dan rasanya sudah dimodifikasi dan disesuaikan dengan selera konsumen. Jangan heran kalau di Jepang ada soto Betawi yang taste dan penyajiannya disesuaikan dengan lidah dan budaya Jepang.
Intinya, soto Betawi sudah jadi makanan rakyat. Kesan eksklusif, mahal dan arstokrat memudar seiring perkembangan zaman.
Mengapa itu terjadi? Apa yang terjadi sebenarnya?
Menurut Abimardha Kurniawan, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (FIB UNAIR), perubahan tersebut terjadi secara bertahap dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Termasuk perkembangan ekonomi, sosial, dan teknologi. Namun, secara umum, proses demokratisasi kuliner sebenarnya mulai terjadi sejak abad ke-20.
Menjamurnya usaha peternakan sapi membuat daging sapi jauh lebih murah sehingga rakyat bisa membeli. Perdagangan yang semakin maju membuat rempah bisa tersedia dimanapun dengan harga sangat murah.
Apalagi ketika masuk tahun 70-an, teknologi MSG muncul sebagai pengaya rasa. Dengan harga sangat murah, MSG mampu memperkaya rasa dan aroma. Revolusi teknologi bahkan mampu menghasilkan bubuk saset rasa soto Betawi. Konsumen kini bisa membeli mie instan rasa soto Betawi di toko kelontong dengan harga sangat murah.
Intinya, untuk membuat semangkok soto Betawi tak perlu lama, ribet dan mahal. Perkembangan ekonomi dan teknologi mengubah segalanya.
Perubahan tersebut dinilai Abaimardha selaras dengan konsep sirkular: dari rakyat kembali ke rakyat. Mungkin hidangan eksklusif itu dulunya dari rakyat biasa kemudian mengalami kenaikan status dan difungsikan oleh masyarakat high class. Akibatnya, nilainya juga yang meningkat. Namun kemudian hidangan itu kembali bisa dinikmati oleh rakyat umum.
“Kita perlu memahami, kebudayaan itu pernah mengalami kenaikan status dan juga mengalami asimilasi. Istilahnya, diperkenalkan lagi di masyarakat yang sejatinya bisa dinikmati oleh masyarakat umum,” katanya dalam sesi diskusi "Santap Ingatan: Memori Pangan dalam Naskah Kuno Nusantara" dalam acara #FestivalSastraKotaMalang di Lahan Sastra, Critasena Coffee, Kota Malang, beberapa saat lalu.
Perubahan tersebut memberikan keuntungan bagi semua pihak. Konsumen dapat menikmati beragam hidangan dengan cita rasa yang lebih kaya, sementara pelaku usaha kuliner memiliki peluang bisnis yang lebih luas.
Perjalanan dan sejarah sebuah kuliner ternyata memberi gambaran bahwa sebuah perubahan pasti terjadi. Sejarah perjalanan kuliner soto Betawi tak sekadar soal kebutuhan ganjal perut, ia juga mencerminkan dinamika sosial dan budaya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Soto Betawi: Potret Transformasi dan Demokratisasi Kuliner
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |